Sahar Backpacker, Hostel dengan Konsep Minimalis nan Nyaman di Kota Batu
Malanginspirasi.com – Sebagai daerah tujuan wisata, Kota Batu memiliki beragam tempat untuk bermalam bagi para wisatawan. Mulai dari hotel mewah dengan pelayanan prima hingga tempat-tempat penginapan yang self-service, alias para tamu melayani diri mereka sendiri. Tentunya dengan tarif sangat murah per malamnya.
Tempat-tempat penginapan seperti ini umumnya berbentuk rumah biasa, berada dalam pemukiman padat penduduk dengan tarif bersahabat sehingga banyak diburu para pelancong berbudget pas-pasan.

Sahar Backpacker adalah salah satunya. Mengusung konsep minimalis, hostel yang terletak tak jauh dari Alun-Alun Kota Batu ini menawarkan tempat bermalam murah meriah namun tak mengabaikan pentingnya rasa nyaman bagi para tamunya.
Menurut Jefri Efendi, pengelola sekaligus pemilik Sahar Backpacker, hostelnya memang mengincar segmen pasar wisatawan yang mobilitasnya tinggi tapi berkantong cekak. Backpacker. Istilah populer ini merujuk pada wisatawan atau pelancong yang ke mana-mana membawa tas punggung.
“Mereka biasanya gemar melancong tapi tak terlalu memusingkan tempat bermalam. Yang penting aman dan nyaman untuk istirahat,” kata Jefri.

Ia mengatakan, tarif yang ditawarkan bervariasi per malamnya.
“Ada yang 60 ribu rupiah per orang untuk satu kamar isi maksimal 4 orang. Ada yang 100 ribu rupiah per kamar untuk 1-2 orang dengan kamar mandi dalam. Sementara yang paling mahal 250 ribu rupiah per kamar dengan tambahan sejumlah fasilitas, termasuk air panas di kamar mandinya,” terang laki-laki berusia 29 tahun ini.
Total kapasitas di hostel yang dikelolanya adalah untuk 18 tamu. Kapasitas itu berasal dari 6 kamar dengan 3 lantai.

Meski demikian, Jefri menjelaskan bahwa dirinya dan keluarga tengah berupaya mengembangkan bisnis penginapan yang dimulai sejak Agustus 2017 lalu itu.
Beberapa waktu lalu, tetangga di kampungnya menjual rumah yang berdekatan dengan hostelnya. Setelah mencapai kesepakatan soal harga, rumah itu pun kemudian berpindah pemilik.
“2 lantai dan ada 4 kamar,” ujar Jefri mengenai rumah yang belum setahun dibeli tersebut.
Tak sekedar dibeli, rumah itu juga langsung dirombak habis-habisan sehingga tampak lebih rapi dan layak menjadi jujugan para tamu menginap.

Akan tetapi keputusan membeli rumah tetangganya itu juga membawa konsekuensi mandeknya pembangunan penginapan lain yang lokasinya berada di samping pintu masuk ke kampungnya di Jalan Moch Sahar Gang III, Ngaglik, Kota Batu.
“Dananya sebagian besar sudah kesedot untuk beli rumah sebelah beserta perbaikannya. Jadi untuk renovasi rumah yang di depan gang untuk sementara ditunda dulu. Lagipula renovasi kan bisa dilakukan kapan-kapan kalau ada uang. Tapi kesempatan memperluas aset (tawaran membeli rumah tetangga, red) kan tidak datang setiap saat,” tutur Jefri.
Diluar penambahan aset, menurutnya pengelolaan usaha penginapan milik keluarga tetap musti dilakukan hati-hati. Apalagi pandemi membuat usahanya mati suri hampir dua tahun. Ketika itu, nyaris tak ada satu pun tamu yang menginap di Sahar Backpacker.

Untuk menyiasati keadaan, lulusan Universitas Brawijaya tahun 2016 ini sempat membuka kafe. Tetapi hasilnya sama saja. Sepi karena adanya berbagai pembatasan terkait mobilitas dan kerumunan masyarakat.
“Alhamdulillah sekarang kondisinya mulai membaik. Meski tak seramai dulu, namun sudah ada saja tamu yang menginap,” ujarnya.
Sementara ini, para tamu tersebut rata-rata adalah pelancong domestik, khususnya dari Jawa Timur dan beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Jogja, dll. Bahkan sesekali ada pula turis asing yang singgah dan menginap di hostelnya.
“Kalau yang asing biasanya dari Eropa. Belanda, Jerman, Inggris. Anak-anak muda semua. Bawa ransel. Turis backpacker,” kata Jefri sambil tertawa.

Jefri saat ini mengelola hostelnya dibantu lima orang. Sebagian kerabat sebagian lagi rekrutmen dari luar. Namun sama seperti segmen pasarnya, seluruh karyawan Sahar Backpacker berusia muda. Di bawah 30 tahun.
Selama ini Jefri mengenalkan usaha penginapannya hanya melalui media sosial serta aplikasi wisata seperti traveloka.com, tiket.com, booking.com, agoda.com. planetofhotels.com, dll.
Hebatnya, review yang diperoleh hostel yang dulunya tempat kos-kosan ini hampir semuanya mendekati sempurna. 4 (untuk skala 0-5) dan 9 (untuk skala 0-10). Ini menandakan para tamu umumnya puas menginap di sana.

Di sisi lain, Jefri mengimpikan adanya asosiasi atau wadah yang bisa mengayomi serta bisa menjadi tempat bertukar informasi untuk penginapan-penginapan sekelas hostel atau guest house di Kota Batu.
“Belum ada di sini. Setahu saya yang punya asosiasi untuk hostel baru ada di Jogja. Itu saya tahu waktu berkunjung ke sana. Kalau di Batu adanya PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, red). Tapi PHRI kan untuk hotel dan restoran besar. Kalau untuk yang kecil-kecil seperti hostel, belum ada. Padahal teman-teman pemilik hostel di Batu jumlahnya cukup banyak. Mudah-mudahan suatu saat nanti kita bisa punya asosiasi seperti yang di Jogja,” ungkapnya.
Satu hal yang menjadi kegundahan pria asli Batu ini adalah masih banyaknya orang yang mencampuradukkan kota kelahirannya dengan Malang. Meski sama-sama berada di wilayah Malang Raya, keduanya berbeda administrasi pemerintahan.
Anggapan Batu sama dengan Malang inilah yang sedikit banyak berimbas pada kecenderungan wisatawan menginapnya di Kota Malang tetapi pelesirannya ke Kota Batu.
“Kalau yang dari Jatim sih bisa membedakan. Tapi yang dari luar daerah, apalagi luar Jawa, dianggapnya sama saja. Mereka menginapnya di Kota Malang, eh paginya jalan-jalan dan menghabiskan sepanjang hari menikmati keindahan tempat-tempat wisata di Kota Batu. Setelah itu, sorenya balik lagi ke Kota Malang untuk bermalam di sana. Kenapa ga sekalian saja nginapnya di Batu, kan lebih dekat dan hemat waktu kalau memang tujuannya berwisata di sini,” keluh Jefri.

Ia tak menampik bahwa hotel dengan fasilitas mewah di Kota Malang jumlahnya lebih banyak. Tetapi tidak semua wisatawan yang berkunjung memiliki kantong tebal.
Banyak yang justru dengan sangu terbatas tiba melalui stasiun maupun terminal di Kota Malang. Sambut mereka dengan informasi tentang tempat-tempat yang bisa menjadi rujukan mereka menginap di Kota Batu. Sebab, mereka inilah pasar potensial untuk menggenjot tingkat hunian di penginapan-penginapan seperti losmen, hostel maupun guest house yang dikelola masyarakat umum.
“Pemerintah Kota Batu dan seluruh stakeholder industri pariwisata di sini semestinya lebih pro aktif mengambil ceruk pasar wisatawan backpacker ini. Toh mereka juga membelanjakan uangnya di Batu. Meski nominalnya mungkin kecil, tapi kalau jumlahnya banyak kan menambah cepat perputaran ekonomi di sini,” Jefri menuturkan.
“Eman-eman kalau yang seperti mereka ini nginapnya juga di Malang padahal tujuan utamanya ke Batu,” pungkasnya. (TON)