Malanginspirasi.com — Pernah mendengar istilah Latte Papas? Di Swedia, istilah ini sangat populer untuk menggambarkan para ayah yang menghabiskan waktu bersama anak-anak mereka. Baik di taman bermain, kafe, maupun berbagai ruang publik lainnya. Berikut penjelasan mengenai Latte Papas dan pelajaran berharga yang bisa dicontoh oleh para ayah di Indonesia.
Apa Itu Latte Papas?
Latte Papas adalah istilah untuk para ayah Swedia yang terlihat sering menghabiskan waktu dengan anak-anak mereka di kafe atau ruang publik sambil minum kopi (latte).
Ini adalah simbol keaktifan para ayah Swedia dalam pengasuhan, di mana mereka berperan secara langsung dalam mendampingi tumbuh kembang anak.
Ayah-ayah di Swedia didorong untuk mengambil parental leave, atau cuti khusus untuk orang tua, guna mendukung pengasuhan sejak bayi lahir hingga usia prasekolah.
Sejarah Awal Mula Fenomena Latte Papas
Fenomena Latte Papas di Swedia bermula dari kebijakan kesejahteraan sosial pada tahun 1970-an. Pada masa itu, Swedia mulai menerapkan kebijakan parental leave atau cuti orang tua. Dimana ayah dan ibu untuk saling berbagi tanggung jawab pengasuhan anak.
Awalnya, cuti ini diberikan tanpa porsi khusus bagi ayah, tetapi kebijakan tersebut kemudian berevolusi untuk meningkatkan partisipasi ayah dalam pengasuhan anak.
Pada tahun 1995, pemerintah Swedia mengambil langkah inovatif dengan menetapkan “Bulan Ayah.” Sebuah cuti eksklusif yang diberikan hanya untuk ayah agar mereka dapat lebih terlibat dalam pengasuhan anak.
Pada tahun 2016, masa cuti ini diperpanjang menjadi 90 hari, sehingga semakin mendorong para ayah untuk mengambil peran aktif.
Setidaknya 30% dari ayah di Swedia memanfaatkan cuti orang tua yang disediakan, menjadikannya negara dengan tingkat partisipasi ayah dalam cuti orang tua tertinggi di Uni Eropa.
Selain kebijakan cuti yang diterapkan pemerintah. Perusahaan Swedia juga menerapkan jam kerja fleksibel untuk memfasilitasi orang tua dalam mengantar-menjemput anak atau menghadiri kegiatan penting lainnya. Bahkan mereka menghindari adanya rapat saat rentang waktu tersebut.
Normalisasi Latte Papas di Swedia
Selain kebijakan cuti parental, ada beberapa faktor yang menjadi kunci normalisasi budaya Latte Papas di Swedia:
1. Budaya Kesetaraan Gender
Swedia menempatkan kesetaraan gender sebagai nilai inti dalam kehidupan masyarakat. Peran pengasuhan tidak lagi dilihat sebagai tugas utama ibu, tetapi sebagai tanggung jawab bersama antara ayah dan ibu.
2. Infrastruktur yang Ramah Keluarga
Di Swedia, ruang publik seperti taman, kafe, dan pusat komunitas dirancang ramah keluarga, sehingga ayah dapat dengan mudah menghabiskan waktu dengan anak-anak mereka.
Banyak kafe menyediakan area bermain anak, membuat kegiatan pengasuhan menjadi lebih nyaman dan memungkinkan ayah untuk tetap bersosialisasi sambil menjaga anak.
3. Tekanan Sosial untuk Menjadi “Ayah Modern”
Di Swedia, “ayah modern” adalah ayah yang mengambil cuti dan berperan langsung dalam mengasuh anak. Menurut Ylva Moberg, peneliti di Institut Penelitian Sosial Swedia, tidak mengambil cuti dapat dipandang sebagai hal yang kurang sesuai secara sosial.
4. Dampak Positif pada Kesejahteraan Orang Tua dan Anak
Studi dari Universitas Stockholm mengungkapkan bahwa cuti orang tua berkontribusi dalam mengurangi stres, depresi, dan burnout.
Orang tua yang lebih bahagia cenderung lebih hadir secara emosional untuk anak-anak mereka, memperkuat hubungan antara ayah dan anak, dan membentuk generasi yang lebih sehat secara emosional.
Bagaimana dengan Indonesia?
Di Indonesia, angka fatherless atau ketiadaan figur ayah tergolong sangat tinggi. Fenomena ini menunjukkan bahwa banyak anak tumbuh tanpa kehadiran ayah yang aktif atau terlibat dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kondisi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:
- Budaya Patriarki yang Kuat: Pandangan bahwa tugas pengasuhan adalah tanggung jawab ibu, sementara ayah fokus sebagai pencari nafkah, memperkuat peran pengasuhan hanya pada ibu.
- Keterbatasan Kesempatan untuk Cuti Ayah: Tidak adanya kebijakan cuti parental yang mendukung keterlibatan ayah dalam pengasuhan membuat banyak ayah sulit terlibat sejak anak lahir.
- Norma Sosial yang Menghakimi: Ada stigma sosial bahwa laki-laki yang terlalu terlibat dalam pengasuhan kurang “maskulin,” yang mendorong ayah untuk menarik diri dari peran pengasuhan.
- Jarak dan Mobilitas Pekerjaan: Banyak ayah yang bekerja jauh dari keluarga atau harus merantau, sehingga keterlibatan dalam pengasuhan menjadi minim.
- Perceraian atau Pemisahan Orang Tua: Tingginya angka perceraian juga berperan dalam meningkatkan jumlah anak yang tumbuh tanpa keterlibatan aktif dari ayah.
Pelajaran Berharga untuk Para Ayah di Indonesia
Ada beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari Latte Papas di Swedia bagi ayah di Indonesia:
1. Jadilah Ayah yang Hadir Secara Emosional dan Fisik
Kehadiran ayah sangat penting dalam membangun ikatan yang mendalam dengan anak. Luangkan waktu khusus untuk berinteraksi dan mempererat hubungan emosional dengan anak-anak.
2. Partisipasi dalam Pengasuhan Sejak Dini
Keterlibatan ayah sejak usia dini sangat membantu anak-anak dalam perkembangan emosional. Bantu ibu dalam mengasuh, bahkan dalam rutinitas sederhana.
3. Dukung Kesetaraan dalam Tanggung Jawab Pengasuhan
Meskipun Indonesia belum memiliki kebijakan cuti parental seperti Swedia, penting bagi ayah untuk berperan aktif dalam pengasuhan anak untuk keseimbangan keluarga.
4. Jadilah Teladan yang Baik bagi Anak
Ayah adalah sosok panutan bagi anak. Dengan menjadi ayah yang peduli dan terlibat, Anda membangun dasar bagi anak untuk tumbuh menjadi individu yang lebih kuat dan bijaksana.
Peran Penting Ayah
Latte Papas di Swedia menunjukkan bahwa peran ayah sangat penting bagi keseimbangan dan kebahagiaan keluarga.
Di tengah tantangan kehidupan modern, ayah di Indonesia dapat terinspirasi untuk lebih hadir dan aktif dalam kehidupan anak-anaknya.
Mari kita bangun generasi Indonesia yang lebih kuat, sehat, dan seimbang dengan menjadikan ayah sebagai pilar keluarga yang penuh kasih sayang dan keterlibatan.











