Dosen UMM Ini Sebut PLTS Peluang Besar Menuju Indonesia Net-Zero Emission 2060

Malanginspirasi.com – Tren penggunaan kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terus menunjukkan perkembangan positif di Indonesia. Hal ini dinilai menjadi angin segar dalam mendukung target dekarbonisasi nasional menuju net-zero emission pada tahun 2060.

Dr. Machmud Effendy, ST, M.Eng. dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat besar, mencapai 207,8 Gigawatt (GW). Namun, pemanfaatannya masih tergolong rendah, yaitu baru sekitar 573,8 Mega Watt (MW) atau 0,28% dari total potensi.

Data terbaru dari Kementerian ESDM menunjukkan adanya pertumbuhan signifikan dalam penggunaan PLTS atap. Angka pertumbuhannya meningkat dari 8.491 pelanggan di akhir 2023 menjadi 8.575 pelanggan pada Januari 2024, mengindikasikan peningkatan kesadaran dan adopsi energi terbarukan.

Sementara itu, pada sektor industri, PLTS atap telah menjangkau 8.491 pelanggan dengan kapasitas terpasang mencapai 149 MWp. Proyek besar seperti PLTS Atap Coca-Cola di Cikarang (7,2 MWp) dan Danone Aqua di Klaten (3 MWp) menjadi bukti bahwa sektor industri mulai serius memanfaatkan energi bersih.

Machmud menyampaikan bahwa integrasi PLTS dengan kendaraan listrik menjadi kombinasi yang ideal dalam mengurangi ketergantungan pada energi fosil.

“PLTS dapat menjadi sumber energi terbarukan untuk mengisi daya baterai EV, sehingga mampu untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan meningkatkan keberlanjutan,” ujarnya.

Dosen UMM, Machmud Effendy, (nomer dua dari kiri) dalam satu kegiatan. (Ist)

Konsumsi energi EV rata-rata adalah 1 kWh untuk menempuh 5–7 km. Artinya, untuk penggunaan harian sekitar 40 km, dibutuhkan 6–8 kWh. PLTS dengan kapasitas 3–5 kWp dinilai cukup untuk menyuplai kebutuhan rumah tangga sekaligus kebutuhan charging EV.

Inovasi seperti smart inverter dan smart charging memungkinkan interkoneksi antara PLTS, baterai, dan jaringan PLN. Surplus listrik dari PLTS dapat disimpan atau digunakan otomatis untuk pengisian daya EV, meningkatkan efisiensi energi rumah tangga.

Menurut Machmud, biaya pemasangan PLTS sangat bervariasi tergantung jenis sistem yang digunakan. Misalnya On-Grid (tanpa baterai) yang cocok untuk rumah dengan sambungan PLN. Biayanya sekitar Rp10 juta per 1 kWp dan menghasilkan 120–140 kWh/bulan.

Adapula Off-Grid (dengan baterai) yang cocok untuk daerah tanpa akses PLN dan memakan biaya sekitar Rp13 juta. Selain itu, ada Hybrid (on-grid + baterai) yang paling fleksibel namun mahal, sekitar Rp15 juta.

“Untuk penghematan signifikan, sistem 2 kWp on-grid dapat mengurangi tagihan listrik rumah hingga 70–80%. Sementara untuk kemandirian penuh, dibutuhkan sistem 2,5–3 kWp plus baterai 5–10 kWh,” tambahnya.

Terkait panel surya, alat ini memiliki umur hingga 25–30 tahun dengan perawatan minimal. Baterai perlu diganti setiap 4 tahun dan cukup dibersihkan secara berkala.

Namun, percepatan PLTS di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Di antaranya kebijakan yang tidak konsisten seperti penghapusan net-metering menciptakan ketidakpastian bagi investor. Infrastruktur PLN juga belum fleksibel terhadap sumber energi terbarukan yang intermiten.

“Tantangan lainnya yakni minimnya insentif ekonomi, tidak ada subsidi, tarif khusus, atau kredit pajak serta harga baterai yang masih tinggi. Rendahnya literasi masyarakat mengenai PLTS juga perlu diperhatikan serta keterbatasan industri lokal panel surya dan inverter, yang masih bergantung pada impor,” katanya.

Di akhir, Machmud menyebutkan bahwa PLTS berperan strategis dalam mempercepat transisi energi nasional. Dengan PLTS, masyarakat bisa menjadi produsen sekaligus konsumen (prosumer) energi.

Dibandingkan pembangkit besar seperti PLTU atau PLTA, PLTS dapat dibangun dalam waktu lebih singkat, bahkan hanya dalam hitungan minggu atau bulan. (*)

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *