Malang di Mata Mahasiswa Rantau, Kota Mahasiswa Berkedok Slow Living

malang kota slow living
Ilustrasi pendapat mahasiswa rantau mengenai Malang kota slow living. (Sumber: freepik.com)

Malanginspirasi.com — Pernyataan Malang sebagai kota slow living di media sosial menuai perdebatan. Banyak dari netizen memiliki pendapat kontra. Hal ini tidak terlepas dari berbagai masalah sosial di Kota Malang, dari banjir hingga kemacetan. Simak pandangan mahasiswa rantau terhadap Kota Malang yang dianggap cocok untuk gaya hidup slow living.

Branding Malang Kota Aesthetic di Media Sosial

Tak dipungkiri media sosial memiliki peran signifikan dalam menciptakan klaim Malang kota slow living. Eksposur tempat wisata, cafe unik, dan jalanan rindang di daerah tertentu secara terus menerus di media sosial, membuat Malang seolah kota cantik nan aesthetic tanpa cela setitik. 

Namun, realitanya banyak dari konten-konten tersebut tidak menunjukkan Malang sebenarnya. Konten yang sudah disunting dan dipermanis, memperdaya netizen bahwa itulah Malang sebenarnya.

Uni (20) mahasiswi asal Makassar mengatakan, “netizen cuman lihat bagusnya aja, secara di medsos emang dirancang buat posting bagus-bagusnya doang. Kebanyakan juga buat liburan doang, jadi ke tempat-tempat aesthetic doang.”

Eksposur ini diperparah dengan perspektif Kota Batu adalah Kota Malang, seperti yang diucapkan Uni, “kebanyakan (wisatawan) yang dituju tuh Kota Batu, (mereka) mikir Batu dan Malang nyatu (satu kota), jadi (mereka) bilang Kota Malang bagus, padahal enggak.”

Hanya Berlaku di Batu dan Ijen

Kekeliruan yang ada hampir di semua pemikiran pendatang dan wisatawan terhadap Kota Batu adalah Kota Malang, perlu diluruskan. Mengingat Kota Batu telah lepas dari bagian Kabupaten Malang sejak 17 Oktober 2001 dan menjadi kota independen dengan administrasi dan birokrasi tersendiri. 

Kota Batu yang memang dirancang sebagai kota wisata, dengan berbagai penawaran tempat healing dan lingkungan asri, memang cocok untuk gaya hidup slow living yang digaungkan.

Hujan tak akan jadi permasalahan, seperti kebanjiran di Kota Malang, melainkan menambah kesyahduan. Ini juga berlaku pada kawasan elit sepanjang Jalan Ijen.

Sejalan dengan ucapan Hawali (19) mahasiswa asal Bangka. “Menurutku Malang pas jadi kota slow living kalau tinggal di Jalan Ijen, apalagi Batu. Meskipun hujan tapi tetep nyaman.”

Tetap Kota Mahasiswa

Meskipun konotasi slow living coba dikaitkan dengan Malang, bagi kebanyakan orang. Terkhusus mahasiswa tetap menganggap Malang sebagai kota mahasiswa. Seperti yang ditambahkan Uni, “Malang itu kota mahasiswa, soalnya tempat makan dan lainnya targetnya mahasiswa.”

Berdasarkan perspektif dua mahasiswa rantau, bisa ditarik kesimpulan bahwa Ijen dan Kota Batu lah yang sebenarnya cocok dengan gaya hidup slow living, dan Malang yang merupakan kota Mahasiswa.

Tinggalkan Komentar